Rabu, 17 September 2008

SBI, Haruskah Seketat ini??

Hm,,, jaman semakin tua semakin aneh. Sekarang, abayak sekolah yang mengejar gelar "SBI" alias "Sekolah Bertaraf Internasional" (Bertaraf apa bertarif ya?? auk ah gelap &*^&%$^$%%%###^) Aku akui, memang kurikulum dan tujuannya itu bagus. Mencetak siswa yang siap bersaing secara nasional dan internasional. Tapi, udah liat dampak negatifnya belum? SBI sekarang sudah diterapkan dari sekolah yang jenjangnya paling bawah. SD misalnya. Praktek SBI itu memang menuntut siswanya aktif, dan banyak mengadakan praktek outdoor. Sebenarnya itu baik, tapi kalau dituntut harus ini, harus itu, pulang sore, harus les ini itu,,,,,Nah apa pula itu?? Listen, they need something interest, not just study, study and study!
Otomatis kawan, kalu mereka, anak-anak SD yang masih polos dan lucu itu sering pulang sore, jangan-jangan mereka ga akan pernah namanya main layang-layang atau kelereng. Just cause setelah sampai rumah sore hari, mereka capek dan walhasil tertidur dengan mudahnya (like me now, haha... LOL). Wah, bisa gawat dunk permainan anak tradisional, bahkan punah. Kayak layang-layang, gobak sodor, petak umpet, dakon (low anak jawa bilang, kayak aku), lompat tali, dll. Namanya juga permainan anak-anak, masa mau dimainin orang dewasa? gak lucu donk. Padahal, permainan itu mangasyikkan dan sarat ilmu loh.
Gals, usia-usia SD itu masih masa-masa bermain. Dalam arti, mereka (sebenarnya) lebih butuh aktif di antara kawan-kawan sepermainannya daripada les macem2, coz kurikulum SBI yang suka menuntut itu. Mereka jadi kurang solider, individual, susah menyesuikan diri (gara-gara lingkup bergaul mereka kurang, hanya sebatas di sekolah dan tempat les) pokoknya kebarat-baratan gitu deh. Tapi juga bukan semata-mata menginggalkan kewajiban utama, yaitu sinau. Belajar. Study. Tapi, anak kan, ga harus idealis atau teksbook, betul toh?
Bukan anak-anak aja yang kena sindrom individualism itu, tapi juga berimbas ke kakak-kakak mereka gals, seperti SMP dan SMA. Lo udah SMA emang beda sih ya, udah bisa dianggap dewasa dan bisa milih jalan hidup mereka sendiri. Tapi, low udah SBI gitu, mang masih sempet mikir masa depan ya? boro-boro mikir masa depan, tugas aja numpuk minta deselesein, masih ditabrak jadwal les ini itu dan ulangan Fisika. Mak nyoss deh. Trus, waktu buat lingkungan sekitar kapan donk? waktu buat belajar tentang hidup? Waktu buat belajar bersosialisasi dengan penduduk sekitar? Ya waktu libur, tapi biasanya nih, waktu libur lebih dimanfaatkan buat tidur sepuasnya (lagi2 kayak gue) akibat balas dendam ato ke luar kota buat shopping2. Weleh-weleh,,,,
Jadi menurutku, Program SBI juga perlu kaji ulang. Mahalnya fasilitas yang diharuskan buat SBI juga menuntut "harga" yang enggak sedikit loh. Kan ksian yang kurang mampu. Okelah, masih ada beasiswa. Tapi, anak juga kasihan liat ortu mereka bekerja keras demi memasukkan anaknya ke kelas SBI. Toh, kelas SBI Juga belum tentu menjamin anak jadi lebih sukses, (MUNGKIN MENUNJANG, TAPI BUKAN JAMINAN).
Hm,,, beberapa waktu ini aku baca buku yang berjudul Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela. Buku ini ditulis oleh orang Jepang. Ceritanya, waktu Jaman perang dunia II (dimana Jepang ikut andil didalamnya) ada sebuah sekolah dasar yang cara belajarnya itu mengasyikkan Banget. Lo ga salah, nama sekolahnya Tomo Gokkuen. Setiap anak bebas menetukan mereka mau belajar apa hari ini. Misal, si A ingin belajar Matematika, maka dia bebas belajar matematika sepanjang hari. Si B, suka Bahasa, maka dia akan belajar bahasa. Tentu saja diawasi oleh guru pembimbing. Nah, anak2 di sekolah itu menjadi sangat enjoy dan semangat banget lo mw pergi ke sekolah. Kepala sekolahnya itu, luar biasa banget! Walaupun beliau termasuk orang jaman dulu, tapi pemikirannya sangat modern. Model pembelajarannya, mereka belajar dari alam. Terkadang mereka keluar, jalan2 bersama, dan belajar sekaligus walaupun suasananya piknik. Yang paling berkesan, Pak Kepala Sekolah T. Gokkuen mengajak punya ide buat mengajari anak2 belajar cocok tanam. Lalu dia mengemasnya dalam suasana piknik, mengajak mereka ke kebun yang ada petaninya. Lalu pak Kepsek menyuruh anak2 itu melihat dan mengamati. Anak2 langsung bertanya kepada sang petani, bagaimana caranya? lalu bagaimana? sampai timbul banyak pertanyaan yang cukup membuat mereka mengingatnya sepanjang waktu. Lalu anak2 mulai mencoba menanam, merawat, memberi pupuk, dll. Scara gak langsung, mereka bermain sambil belajar. Dan, pada akhirnya, siswa2 T. Gokkuen banyak yang menjadi orang sukses lho!
Wah, kliatannya asik banget ya, klo sekolah di Indonesia punya cara yang menarik banget buat belajar. Gak harus mahal kan? Semoga Indonesia bisa segera menerapkannya ya, Atau kalau enggak doakan saya agar bisa menerapkannya pada anak2 generasi besok. Aminnnnn,,,,,,,,,,,
_ Comment me =) _

Tidak ada komentar: